Puadi: Putusan MK Akan Pengaruhi Arah Desain Demokrasi Elektoral Indonesia
|
Subang - Anggota Bawaslu RI, Puadi, menyampaikan pandangannya terhadap sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai akan memberi dampak besar terhadap arah demokrasi elektoral di Indonesia. Hal ini ia sampaikan dalam forum Jaringan Demokrasi Indonesia bertema “Transformasi Sistem Pemilu Indonesia, Memahami Putusan MK dan Implikasinya bagi Demokrasi” yang digelar di Bawaslu DKI Jakarta, Rabu (16/7/2025).
Puadi menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 2023 hingga 2025, terdapat tiga putusan penting yang dikeluarkan MK, yakni Putusan No. 114/PUU-XX/2022, Putusan No. 135/PUU-XXII/2024, dan Putusan No. 313/PHPU.BUP-XXIII/2025. Ia menilai ketiganya memiliki implikasi demokratis, namun juga menyimpan sejumlah catatan penting.
Terkait Putusan 114 yang mempertahankan sistem pemilu proporsional terbuka, Puadi menilai bahwa putusan ini menegaskan prinsip partisipasi langsung rakyat dalam memilih wakilnya.
“Sistem terbuka juga menuntut penguatan pengawasan, etika kampanye, dan transparansi dana politik. Selain itu, sistem ini rawan politik uang dan kompetisi tidak sehat di internal partai,” ungkapnya.
Mengenai Putusan 135, yang menyatakan pemilu dan pilkada tidak serentak bertentangan dengan asas keserentakan, Puadi menilai hal ini akan berpengaruh besar terhadap tahapan dan regulasi pemilu ke depan.
“Yang jadi pertanyaannya, apakah penyelenggara mampu menghadapi beban logistik, anggaran, dan SDM bila tahapan benar-benar tidak diserentakkan? Perubahan tahapan pemilu tentu akan berdampak signifikan terhadap kesiapan logistik, anggaran, dan SDM penyelenggara, termasuk potensi tantangan dalam menjaga netralitas ASN. Bawaslu akan mengkaji dan menyesuaikan strategi pengawasan agar tetap efektif dalam konteks perubahan ini,” ujarnya.
Adapun Putusan 313 terkait diskualifikasi kolektif pasangan calon dalam PSU Barito Utara, menurutnya merupakan preseden penting.
“Hal ini membuka preseden penting dalam konteks pertanggungjawaban kolektif dalam praktik kecurangan juga memberikan pesan kuat bahwa pelanggaran serius tidak hanya berdampak pada individu, tetapi seluruh kontestasi,” tegas Puadi.
Puadi menegaskan pentingnya penyesuaian regulasi, tata waktu, dan kelembagaan, termasuk pendidikan pemilih yang harus mengikuti arah perubahan ini. Ia juga menyoroti pentingnya kaderisasi oleh partai politik, bukan hanya perekrutan.
Ia menyimpulkan bahwa transformasi sistem pemilu tidak bisa dipandang sebagai perubahan teknis semata, melainkan bagian dari perjuangan membangun demokrasi elektoral yang berintegritas.
“Selain itu, demokrasi yang baik membutuhkan regulasi yang adil, pengawasan yang kuat, dan rakyat yang melek demokrasi. Putusan MK tidak hanya menafsirkan hukum, tetapi sedang menulis ulang cara kita berdemokrasi,” tutupnya.
Penulis: G. Eki Pribadi
Foto: Bawaslu